Hidup itu ibarat film. Ada tokoh utama, ada pemeran pembantu, ada pemeran ekstra, ada juga figuran yang lalu lalang. Boleh jadi kita adalah pemain pembantu, pemain ekstra, atau bahkan figuran dalam kehidupan orang. Tapi, kita adalah tokoh utama dalam kehidupan kita sendiri.
Walau ada kemiripan, tapi ada perbedaan yang nyata. Kalaulah dalam film, naskah skenario ditulis oleh manusia, yang notabenenya makhluk. Serba terbatas, dihiasi khilaf, lupa. Sementara kehidupan kita, skenarionya dari Allah swt. Semua ketetapan yang menimpa kita adalah skenario terbaiknya walau kadang kita tak mampu melihatnya secara seksama. Bukankah Allah sudah katakan dalam firmannya yang diabadikan dalam al quran, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui" (Tqs. Al baqarah: 216).
Dalam kehidupan kita, ada dua daerah yang menghiasinya. Pertama, daerah yang kita kuasai. Di dalam daerah ini, kita bebas memilih untuk melakukan aktifitas. Kita diberikan modal yang sama oleh Allah, diantaranya waktu dan akal. Apakah waktu yang Allah berikan ini optimal dimanfaatkan, atau malah disia-siakan? Apakah akal yang Allah berikan digunakan untuk memilah dan memilih aktifitas berdasarkan aturan Allah atau memilih sebatas hawa nafsu belaka? Dan semua pilihan yang kita lakukan dalam daerah ini akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt. Ya, ada hisab menanti.
Kedua, daerah yang menguasai kita. Dalam daerah ini, tidak ada pilihan bagi kita. Kita diminta untuk bersabar menghadapi ketentuan ini. Contohnya, kalau di jalan kita sudah berhati-hati dalam mengemudi, tapi ternyata ada orang lain yang kurang hati-hati sehingga menyebabkan kecelakaan. Karena tidak ada campur tangan kita dalam daerah ini, maka Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban atas yang terjadi pada daerah ini.
Dari sini bisa disimpulkan agar ketika kita dihisab nanti kita selamat dari adzab. Maka kita harus menyesuaikan aktifitas dalam daerah pertama dengan aturan Allah swt. Tentu ini akan terasa berat kala pondasi iman belum kuat. Maka dari itu, yang harus senantiasa kita lakukan adalah mengokohkan pondasi iman. Agar ringan langkah kita menyesuaikan segala tindak tanduk dengan aturan sang Pencipta.
Ingatlah, kita itu spesial, extraordinary. Kita bisa jadi lebih mulia dari malaikat. Kala kita mengoptimalkan modal yang Allah berikan dalam kehidupan ini untuk beribadah pada Nya, sesuai dengan karakter kita. Lihatlah kisahnya Abu Bakar As Shiddiq, yang sangat perasa. Ia yang menangis kala mengimami sholat. Tapi, tegas kala berhadapan dengan orang yang murtad juga munafik. Sebutlah Umar bin Khattab yang keberaniannya digunakan untuk berani menunjukkan kebenaran, berani mengakui kesalahan. Karena itu ia dijuluki Al Faruq (Sang Pembeda). Jangan lupa dengan Usman bin Affan yang pemalu. Malunya menyelimuti dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa. Sampai Rasulullah pun malu padanya. Ada juga Ali bin Abi Thalib yang cerdas. Yang kecerdasannya dimanfaatkan untuk kepentingan agama Allah dan umat Islam.
Untuk wanita, ada sosok Aisyah ra, yang cerdas, mudah mengingat. Ingatannya ia gunakan untuk meriwayatkan hadist. Juga sosok para muslimah kaum Anshor yang pemberani. Dalam artian berani meminta jatah pembekalan ilmu agama dari Rasul, juga berani bertanya pada Rasul mengenai permasalahannya.
Kita, Allah ciptakan spesial, extraordinary, berbeda dari lainnya. Memang tujuan penciptaan kita sama, beribadah pada Allah. Tapi misi spesifiknya berbeda setiap orang, sebagaimana para sahabat dan shahabiyah berperan pada ranahnya, sesuai karakternya. Semuanya disatukan dalam tujuan yang sama, menggapai Ridho Allah saja.
Jangan jual akhirat kita demi dunia yang fana dan sementara. Mari bersyukur pada-Nya dengan menjadi insan yang taat, yang bermanfaat dengan kespesialan kita.
Wallahu'alam bish shawab.