Kamis, 21 Mei 2020

Matinya Fitrah Ibu

(Sumber gambar: nakita) 

“I though about week later they might be dead. I didn’t feel like I should return home to save them”.

(japantimes.co.jp, 1/8/2010)

(Sumber gambar: Youtube) 

Sanae Shimomura, 23 tahun, tega mengunci kedua anaknya, Sakurako Hagi 3 tahun dan Kaede Hagi 1 tahun, di dalam apartemen. Ia meninggalkan anaknya selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya kedua anak tersebut ditemukan sudah membusuk di dalam apartemen. Namun, sang ibu tidak menyesal atas kematian kedua anaknya.

----------------------------------------------------------------------------------

“Paman melakukan hal mengerikan padaku. Dia menaruh lipstik ibuku di bibirku. Dan mendorongku keras-keras. Lalu, ibu pulang. Ibu memukuliku, sambil berkata, aku kotor. Lalu, dia memasukkanku ke dalam keresek sampah. Dan membuang sampah kepadaku. Kemudian, ia menaruhku di luar rumah. Paman bilang, aku akan mati kalau tetap di dalam keresek sampah. Tapi, ibu malah bilang,’Aku tidak peduli! Malah bagus kalau begitu’”. (Mother, episode 14)

Real Story

Kematian  mengenaskan yang dialami oleh Sakurako dan Kaede bukan cerita belaka. Ia nyata. Kantor berita di negeri matahari terbit itu menggambarkan adik kakak Hagi ini ditemukan kurus kering. Dalam keadaan telanjang, terlentang diantara tumpukan sampah. Hasil autopsi mengatakan tak ditemukan sisa makanan dalam saluran cerna keduanya. Diduga, kedua anak Sanae ini meninggal karena kelaparan.

Kasus kekerasan terhadap anak oleh ibunya. Kasus pengabaian anak oleh ibunya. Dan kasus senada, kini kian sering terjadi. Bak musim jamur kala penghujan. Hingga saking banyaknya, diangkatlah ia menjadi film. Sebagaimana kasus pengabaian anak di atas diangkat menjadi sebuah film yang berjudul “Sunk into the Womb” pada tahun 2016.

Tak hanya di Jepang, Korea pun merilis film bergenre sama. Tentang penganiayaan anak oleh ibunya. Walau bukan kisah nyata. Drama “Mother” ini mewakili kisah kekerasan anak oleh ibu dan pasangannya yang juga menjamur di Korea sana. Tak cukup Jepang dan Korea, kasus yang sama pun terjadi di negeri kita tercinta. Indonesia. Hingga lahir salah satu filmnya tahun 2016, “Untuk Angelina”. Bukan hanya Jepang, Korea, Indonesia, tapi sebagian besar negara di dunia ini bisa jadi memiliki kasus yang serupa. Walau tak semuanya diadopsi ke layar kaca. 

Sedih. Iba. Marah. Benci. Semua bercampur rasa di dada. Heran seheran-herannya. Mengapa bisa ibu yang mengandung, melahirkan darah dagingnya sendiri begitu tega mengabaikan, menganiaya anaknya? 

Sekulerisme Biang Keladi

Berderet kasus pilu terjadi menimpa anak-anak tak berdosa. Alasannya pun terasa remeh. Ingin punya waktu luang. Merasa beban dalam mengurus anak. Apalagi suami tak membersamai. Hilang dengan wanita lain. Tak mau bertanggungjawab atas ibu dan buah hatinya.

Perempuan memiliki fitrah mencintai anak-anak. Mengasihi dan menyayangi anak-anak. Karena itu, pengasuhan diberikan kepada ibu. Bonding antara anak dan ibu pun terjadi lebih intens. Mulai dari proses kehamilan. Janin yang berada dalam tubuh ibu bisa merasakan apa yang ibu rasakan. Maka, sering kita dengar  kalau ibu hamil harus mengatur emosinya. Tidak boleh stress karena akan mempengaruhi kondisi janin. Hal ini berlanjut setelah melahirkan. Ibu harus menyusui sang bayi dalam hitungan jam. Ini adalah fase lanjutan bonding antara anak dan ibu. Demikian seterusnya. 

Bahkan pelukan dari orangtua, khususnya ibu bisa membawa keajaiban bagi sang buah hati. Kala demam melanda, pelukan skin to skin bisa membuat demam reda. Saat sakit menghampiri, pelukan bisa menstimulus keluarnya hormon endorphin. Hormon ini adalah natural pain killer. Hingga tak heran kala anak sakit, ia ingin selalu digendong, dipeluk, tak mau lepas dari ibu.

Sayangnya, fitrah ibu nan mulia ini telah rusak bahkan mati pada sebagian ibu. Bukan cinta yang hadir kala bersama anak, namun benci dan amarah. Karena menganggap anak sebagai beban, bukan anugerah. Ini hadir karena racun sekulerime mencengkram dalam benak manusia masa kini. 

Sekulerisme. Paham memisahkan agama dari kehidupan. Membuat hidup kering kerontang. Kering dari keimanan. Lemah tak berdaya karena tiada Rabb sebagai tempat bersandar. Tiada Rabb untuk tempat mengadu. Semua terasa berat karena dipikul sendiri. Tak punya tempat bernaung. Tak ada yang diandalkan. 

Sayangnya, paham ini laku keras saat ini. Agama jadi hal yang kuno untuk dibicarakan. Keberadaan Tuhan mulai dipertanyakan. Kewajiban pun terasa menjadi beban. Hingga terombang-ambinglah dalam kehidupan.

Kembali dalam Pelukan Agama

Coba kalau para ibu memiliki keimanan sekokoh karang. Badai sekencang apapun. Sebuas apapun. Para ibu akan bertahan. Karena dengan iman, ibu percaya, ada Allah bersama mereka. Allah, Rabb Pencipta Alam semesta dan seluruh isinya jauh lebih hebat daripada masalah kita. Dengan mendekat pada Allah, para ibu punya sandaran yang tak terkalahkan. 

Fitrah ibu pun akan tetap terjaga. Masalah finansial, akan yakin dengan konsep rezeki. Haqqul yakin bahwa rezeki itu dari Allah, bukan dari suami, dari atasan. Tentu diiringi dengan ikhtiar yang sesuai syaria’t Islam. Masalah rumah tangga, selama berpegang pada agama, insyaallah dinaungi oleh Allah swt. Bukan berarti rumah tangga tanpa masalah, tapi masalah akan terlihat kecil jika kita sudah yakin ada Allah yang Maha Besar. Allah akan tunjukkan solusi dari setiap permasalahan kita.

Sehebat apapun negara di mata dunia, tapi kalau sekulerime sudah bercokol disana. Lihat dan tunggulah kehancurannya. Mulai dari institusi negaranya, sampai ke institusi keluarga. Karena tak mau diatur oleh agama. Menganggap agama sebagai candu. Padahal aturan yang mereka buat penuh cela. Menimbulkan permasalahan di atas permasalahan lainnya. 

Sudah saatnya kita kembali dalam pelukan agama. Singkirkan racun pemisahan agama dari kehidupan dunia. Justru dunia kita butuh agama. Butuh aturan dari Rabb Pencipta Alam Semesta. Yang tak pernah salah memberikan aturan-Nya dalam mengatur dunia dan seisinya. Pun kita, harusnya percaya, bahwa aturan Allah itu yang terbaik bagi kita. 

Wallahua’lam bish shawab



Tidak ada komentar:

Posting Komentar